Pendahuluan
Pelaporan spontan mengenai reaksi obat yang merugikan (ADR) merupakan cara yang efektif untuk memastikan pengawasan pascapemasaran obat, dan tenaga kesehatan memainkan peran utama melalui pelaporan ADR secara sukarela. Reaksi obat yang merugikan (Adverse Drug Reaction/ADR) salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas yang dapat meningkatkan beban pada layanan sistem kesehatan. Berdasarkan data pelaporan ADR global, sekitar 15 juta kasus telah dilaporkan sejak tahun 1957 hingga 2018. Namun, tidak semua negara berpartisipasi dalam pelaporan ini, sehingga diyakini jumlah sebenarnya jauh lebih besar daripada yang tercatat. Studi memperkirakan bahwa biaya perawatan rumah sakit akibat ADR mencapai sekitar US$570.400 per 1.000 pasien, dengan pengeluaran mencapai sekitar 5% dari total anggaran kesehatan di Singapura. Lebih dari 50% dari total kasus ADR diperkirakan dapat dicegah. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kejadian ADR adalah variabilitas respons obat antarindividu, yang sebagian besar disebabkan oleh perbedaan genetik. Variabilitas genetik ini juga dapat menyebabkan perubahan kadar obat hingga berada di bawah ambang terapeutik, yang pada akhirnya menghasilkan pengobatan yang tidak optimal (Jefman et al., 2023).
Kurangnya pelaporan merupakan keterbatasan utama dari sistem notifikasi spontan, karena diperkirakan hanya 6–10% dari semua ADR yang dilaporkan. Di satu sisi, tingkat kurang pelaporan yang tinggi ini mencegah ADR untuk diukur guna menghitung dampaknya dalam hal kejadian dan risiko, dan di sisi lain, hal ini menunda aktivasi sinyal peringatan, dengan konsekuensi dampak pada kesehatan masyarakat. Penundaan dalam keputusan untuk membatasi penggunaan obat atau menghentikannyadapat mengakibatkan lebih banyak pasien yang terkena dampak.
(Sumber : https://www.medicineslearningportal.org/2018/05/adverse-reactions-suggested-questions.html)
Evaluasi dimulai dengan meninjau riwayat penggunaan obat pasien, termasuk obat resep, non-resep, suplemen, atau herbal, serta memastikan apakah ada obat yang telah dihentikan dan kapan hal tersebut dilakukan. Riwayat medis pasien juga menjadi komponen penting untuk memahami kondisi kesehatan lain yang dapat memengaruhi reaksi obat, disertai identifikasi riwayat alergi atau reaksi obat sebelumnya. Tanda dan gejala spesifik yang dialami pasien harus dicatat, bersama dengan waktu munculnya reaksi terkait dengan pemberian obat. Faktor lain seperti bahan tambahan dalam obat (excipient) yang dapat memicu reaksi juga harus dipertimbangkan. Rencana manajemen kemudian dirancang untuk menangani reaksi ini, termasuk penghentian obat penyebab, pengobatan simptomatik, atau langkah preventif. Selain itu, penting untuk menentukan siapa saja yang perlu diberi tahu, baik pasien, keluarga, maupun tenaga kesehatan lain, guna memastikan tindak lanjut yang komprehensif dan aman. Panduan ini bertujuan untuk memberikan pendekatan yang sistematis dalam mengelola ADR dan memastikan keselamatan pasien.
Fungsi
Adverse Drug Reactions diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama: Reaksi Tipe A dan Reaksi Tipe B. Kedua jenis reaksi ini memiliki subkategori masing-masing. Meskipun tanda, gejala, dan waktu kemunculannya dapat membantu membedakan keduanya, sering kali ada tumpang tindih dalam manifestasi klinisnya.
Reaksi Tipe A
Reaksi Tipe A adalah reaksi alergi yang disebabkan oleh sifat farmakologis obat yang sudah diketahui. Reaksi ini dapat terjadi pada siapa saja apabila diberikan dosis yang cukup. Reaksi Tipe A merupakan jenis ADR yang paling umum, mencakup sekitar 85% hingga 90% dari seluruh reaksi alergi terhadap obat. Reaksi ini dikelompokkan ke dalam beberapa kategori berikut :
- Overdosis Obat
Overdosis terjadi ketika obat dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan. Contoh ADR akibat overdosis meliputi gagal hati yang terjadi setelah overdosis asetaminofen, perdarahan serius setelah overdosis warfarin, dan depresi pernapasan yang disebabkan oleh overdosis oksikodon.
- Efek Samping
Efek samping adalah efek obat yang dapat diprediksi atau bergantung pada dosis, namun bukan efek utama yang diharapkan dari obat tersebut. Efek samping dapat bersifat menguntungkan, merugikan, atau tidak signifikan. Contoh ADR akibat efek samping termasuk gastritis yang disebabkan oleh penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), nefrotoksisitas setelah terapi aminoglikosida, diare akibat antibiotik, serta fototoksisitas yang dipicu oleh penggunaan doksisiklin.
- Interaksi Obat
Interaksi obat terjadi ketika suatu obat bereaksi dengan obat lain, makanan, minuman, suplemen, atau kondisi medis tertentu. Contoh ADR yang disebabkan oleh interaksi obat termasuk peningkatan kadar teofilin dalam tubuh akibat penggunaan antibiotik makrolida, penurunan efektivitas antikoagulan warfarin akibat konsumsi vitamin K dalam jumlah tinggi, dan depresi pernapasan yang terjadi akibat penggunaan kombinasi benzodiazepin dan opioid.
Reaksi Tipe B
- Reaksi Idiosyncratic
Reaksi tipe B yang tidak dimediasi oleh mekanisme imunologi atau inflamasi disebut reaksi obat idiosinkratik. Reaksi ini dapat muncul karena anomali genetik (misalnya, hemolisis yang diinduksi dapson pada pasien dengan defisiensi G6PD) atau sensitivitas berlebihan pada dosis rendah (misalnya, tinitus setelah satu dosis aspirin).
- Reaksi pseudoalergi
Reaksi obat pseudoalergi menyerupai reaksi obat alergi; namun, reaksi tersebut tidak dipicu oleh mekanisme imunologis. Sering disebut sebagai “reaksi hipersensitivitas nonimun,” reaksi pseudoalergi muncul karena aktivasi langsung sel inflamasi. Secara khusus, Mas-Related G-Protein Coupled Receptor Member X2 terlibat dalam stimulasi sel mast langsung tanpa memerlukan aktivasi yang dimediasi IgE. Vankomisin secara langsung mengaktifkan degranulasi basofil dan sel mast, yang menyebabkan pelepasan dan pembilasan histamin. Menariknya, reaksi ini dapat dihindari dengan memperlambat laju infus vankomisin, yang mengendalikan laju pelepasan histamin.
Penanganan Adverse Drug Reactions
Mengubah dosis atau menghentikan obat penyebab adalah langkah paling penting dalam menangani reaksi berlebihan terhadap obat (ADR). Overdosis obat dapat terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Gejalanya bervariasi tergantung pada jenis obat, jumlah yang dikonsumsi, apakah toksisitasnya bersifat akut atau kronis, serta kondisi medis yang mendasari. Jika reaksi parah terjadi, langkah utama adalah memastikan jalan napas tetap terbuka dan sirkulasi darah terjaga. Penggunaan antidot tertentu seperti N-asetil sistein untuk overdosis asetaminofen atau nalokson untuk toksisitas opioid sangat penting. Konsultasi dengan pusat pengendalian racun atau ahli toksikologi diperlukan, terutama dalam kasus overdosis yang melibatkan kombinasi obat atau jumlah yang tidak diketahui.
Urtikaria umumnya diobati dengan antihistamin seperti difenhidramin, cetirizin, levosetirizin, dan loratadin. Antagonis reseptor histamin-2 seperti ranitidin dapat memberikan manfaat tambahan. Dalam beberapa kasus, kortikosteroid seperti prednison dapat digunakan untuk membantu meredakan gejala. Pengobatan untuk erupsi obat eksantematosa meliputi penggunaan kortikosteroid topikal dan antihistamin oral untuk mengurangi gejala. Jika reaksi menyebar secara luas, kortikosteroid sistemik dapat dipertimbangkan.
Referensi :
- https://archpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13690-021-00783-1
- https://journal.uc.ac.id/index.php/PMJ/article/view/4235
- https://thepharmadaily.com/courses/pharmacovigilance-quiz/what-is-an-adverse-drug-reaction-adrhttps://thepharmadaily.com/courses/pharmacovigilance-quiz/what-is-an-adverse-drug-reaction-adr
- https://www.medicineslearningportal.org/2018/05/adverse-reactions-suggested-questions.html
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK599521
- (Sumber gambar : https://thepharmadaily.com/courses/pharmacovigilance-quiz/what-is-an-adverse-drug-reaction-adr)
Penulis : Maulidiah_22416248201081_FM22A_Farmasi UBP Karawang